Awal tahun 2020 ini memang penuh kejutan. Baru saja kita mengalami musibah banjir yang melanda sebagian besar wilayah ibukota dan sekitarnya, kini negara kita dihadapkan oleh perang melawan pandemik. Warga +62 yang dikenal santuy perlahan mulai mengubah mindset-nya setelah menerima kabar melonjaknya jumlah pasien terinfeksi COVID-19 di Indonesia. Virus yang belum ada obatnya ini memaksa semua orang untuk melakukan social distancing, agar dampak penularan bisa diminimalisir. Salah satunya dengan bekerja dari rumah.
Sekolah, institusi publik, hingga banyak perusahaan mulai perlahan mendukung inisiasi #dirumahaja. Belajar dari rumah. Kerja dari rumah. Bahkan, ibadah direkomendasikan untuk dilakukan di rumah saja untuk sementara waktu. Bagi saya yang sudah terbiasa remote working, WFH (working from home) ini bukan tantangan baru. Meskipun tentu saja, WFH is not for everyone.
Daftar Isi
Pengalaman Bekerja dari Rumah
Sebelum istilah WFH ini populer, saya telah mempraktekannya selama kurang lebih 3 tahun ke belakang. Status saya full-time, namun saya mendapatkan flexible hour and flexible working. Tandanya, jam kerja saya tidak terikat waktu 8-5 misalnya, selama sesuai total jam kerja dan mencapai KPI yang telah disepakati.
Sejujurnya, saya sangat menikmati WFH ini. Pertama kali menjalaninya, rasanya agak aneh karena saya gak harus tiap hari datang ke kantor. Pergi ke luar seperlunya saja, biasanya sewaktu ada meeting dengan klien atau dengan team. Saya juga bisa masak setiap pagi dan tidak perlu terkena drama persiapan di pagi hari. Dan yang paling penting adalah, saya bisa menghemat waktu dan dana!
Sebagai seorang introvert, tentu saja WFH ini sangat menyenangkan bagi saya. Saya tidak perlu bermacet-macetan, gak perlu hujan-hujanan atau panas-panasan. Saya juga bisa flexible mengatur waktu meskipun as a morning person, saya selalu siap di depan laptop dari mulai jam 9 pagi. Saya pun gak pusing harus pakai baju apa, asalkan pikiran saya sudah terkondisikan dengan to-do-list hari itu, belum mandi pun saya siap kerja ((hehehe)).
Namun, bekerja dari rumah ini harus saya akui, tak selamanya menyenangkan.
Tantangan Bekerja dari Rumah
1. WFH sangat mengutamakan aspek kemandirian atau self-leadership.
Selama tiga tahun, saya bekerja dengan supervisi yang minimal. Atasan saya memberikan briefing yang singkat, seringkali via telepon, video-call atau Whatsapp chat. Saya harus mampu menurunkan brief tersebut kepada detail-detail pekerjaan yang harus saya selesaikan. Selain itu, saya juga harus memastikan bahwa arahan atasan saya sesuai dengan yang saya pahami.
Koordinasi tanpa tatap muka ini resikonya tidak boleh diremehkan. Sekali saja miskomunikasi, efeknya bisa buruk ke pekerjaan dan kredibilitas kita. Karena remote working ini, kita bergantung pada kepercayaan yang diberikan oleh atasan kepada kita.
Mereka tidak bisa melihat proses kerja kita, juga tidak mengawasi secara detail. Satu-satunya indikator adalah hasil pekerjaan kita. Sekalinya tidak sesuai ekspektasi, jangan heran akan muncul kalimat, “lah kok gini sih? Kemarin-kemarin ngapain aja kok hal ginian doang gak selesai/gak sesuai harapan?”
Sebagai pekerja, mungkin kita merasa kita sudah berusaha melakukan yang terbaik. Meskipun demikian, sikap evaluatif memang harus diutamakan daripada ego pribadi kita. Jika memang tidak sesuai ekspektasi, berarti ada yang keliru dalam proses koordinasi. Kemungkinan yang sering terjadi adalah miskomunikasi, adanya perbedaan asumsi antara kita dengan tim atau atasan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa memastikan bahwa kita memahami output yang diharapkan atas hasil kerja kita. KPI saja tidak cukup, go with details bila perlu. Attitude seperti ini yang akan membuat sistem WFH bisa diterapkan dengan optimal.
2. WFH ini akan menguji integritas kita.
Berbeda dengan bekerja di kantor dimana kita dikondisikan dengan lingkungan kerja, bekerja dari rumah adalah battle with ourselves. Saat kita tidak dilihat orang lain, saat kita tidak dalam pengawasan atasan, apakah kita dapat memanfaatkan waktu dengan baik ataukah kita menggunakan kesempatan untuk netflix-an dan banyak rebahan?
Jokes aside, the struggle is real yo! Bekerja di rumah, apalagi di kamar, itu godaannya besar. Tipikal “pelor” (a.k.a nempel-molor) kayak saya ini paling gak tahan liat kasur. Apalagi kalau suasanya mendukung, lagi mendung-mendung syahdu misalnya. Wah kelar sih udah.
Satu hal yang saya pelajari selama WFH, sebetulnya kasur bukan musuh utama. Keinginan untuk santai, rebahan, Instagraman, dll akan terkalahkan jika kita punya working will yang kuat.
Working will adalah kemauan yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah kita tetapkan untuk selesai. The urge to get things done. Saya tidak memungkiri bahwa sesekali saya memanfaatkan waktu untuk “rebahan” saat pekerjaan tidak terlalu mendesak. Namun, saya menyadari kebiasaan tersebut pelan-pelan bisa membunuh saya.
Setiap pekerjaan selesai, akan ada pekerjaan-pekerjaan lainnya yang telah menanti. Masa-masa santai suatu saat akan dihantam oleh masa-masa penuh deadline yang meminta jam tidur kita. Tentu saja ini bukan hal yang sehat. Karena kalau kita pikirkan lebih dalam, pekerjaan yang sangat sangat mendesak banget itu jumlahnya gak banyak. Justru pekerjaan yang kita buat mendesak karena kita menunda-nunda, itu yang jumlahnya bisa jadi tak terhingga.
Perlahan, saya mulai belajar bagaimana cara memprioritaskan pekerjaan. Sejauh ini, matrix diadaptasi dari Stephen Covey (author of Seven Habits of Effective People), sangat efektif digunakan dalam membuat to-do-list harian. Prioritisasi membuat kita tidak mudah lengah, meskipun saat ini kita sedang tidak dikejar deadline. Selain itu, mengetahui mana yang harus diselesaikan lebih dulu menghilangkan aspek guilty feeling saat kita harus mengorbankan salah satu pekerjaan demi hal lain yang lebih penting/urgent.
3. WFH terkadang membuat kita kesepian.
Hal ini saya rasakan saat setahun kemarin harus remote working Surabaya-Jakarta. Di Surabaya, saya tidak banyak mengenal orang-orang yang bekerja di bidang yang saya jalani. Saya pun tinggal jauh dari kolega dan rekan kerja di kantor. Kalau di Jakarta saya masih bisa bertemu mereka 1-2 kali seminggu, di Surabaya saya benar-benar sendirian. WFH yang awalnya menyenangkan pun mulai terasa membosankan.
Di fase ini, saya bisa membayangkan apa yang akan dirasakan para extrovert jika harus WFH sendirian dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Bagi mereka yang energinya bertambah saat bertemu orang lain, WFH bisa menjadi tantangan yang cukup besar. Mood sulit terbangun, kefokusan sulit dibentuk.
Dalam hal ini, saya bisa memaklumi mengapa banyak orang yang sering “melarikan diri” untuk bereskpresi di sosial media saat jam kerja. Because we need social interaction. Meskipun kebiasaan ini tidak baik untuk produktivitas, akan lebih baik jika sistem WFH yang dibangun di kantor dapat mengakomodir kebutuhan ini.
Interaksi sosial tetap menjadi kebutuhan primer dari manusia. Teknologi dapat mempermudah kehidupan kita, namun tak bisa mengganti interaksi emosional yang harus kita penuhi. Disini saya rasa, WFH akan menjadi tantangan kita semua khususnya dalam masa-masa sulit melawan COVID-19.
Mungkin diantara kita ada yang mengalami tekanan batin, ketakutan, panik, atau simply mengalami masalah tertentu tapi tidak mampu menceritakannya secara langsung. Ingin bertemu, namun terhalang oleh instruksi social distancing. Inilah tugas kita bersama, sebagai manusia, untuk saling peka dengan kebutuhan dan keadaan sekitar. Untuk sesekali bertanya dan memastikan ke sekeliling kita, apakah mereka baik-baik saja.
Baca juga: Peran Mentor dalam Pertumbuhan Karier
Kenali Cara Bekerja Kita Lebih Mendalam
Bekerja di rumah akan membuat kita perlahan mengenali diri kita lebih dalam. Kapankah waktu terbaik kita bekerja? Bagaimanakah cara kita menentukan prioritas? Seberapa produktifkah kita dalam 1 hari? Apa saja jenis distraksi yang sering menghambat kita untuk fokus? Dan berapa lama kita bisa fokus menuntaskan sebuah pekerjaan.
Dari kacamata individu (pekerja), menurut saya WFH ini sistem yang sangat mungkin dijalani. Saat pertama kali menjalani, mungkin akan banyak hambatan dan godaan yang datang. Belum lagi jika kita tinggal serumah dengan keluarga, atau sudah memiliki anak yang masih balita atau sama-sama stay at home juga. Tantangan manajemen fokus dan manajemen waktu menjadi niscaya untuk ditaklukan.
Tapi saya percaya jika kita mampu terus melakukan evaluasi, serta ditunjang oleh sistem kantor yang transparan, WFH ini bisa works banget kok. Seperti apa yang kami jalankan di PARADIGM saat ini, dimana setiap dari kita tau apa yang sudah, akan, dan sedang dikerjakan. Dengan begitu, baik dari segi individu maupun dari segi manajemen akan timbul trust dan kontrol yang baik. Tanpa kita harus menjadi sosok yang control-freak terhadap anggota tim kita.
Dua minggu ini akan sangat menantang. Namun saya rasa, jika kita mampu mengambil pelajaran dari WFH, kita akan banyak sekali mendapatkan insight dari pengalaman kita sendiri. Selamat mencoba! ***
Feature image: Mikayla Mallek for Unsplash.